Sekilas
perjalanan hidup Raden Jati bin Maulana Rosyidul Ibad waktu abad ke-15 atau
tahun 1400 m. Raden Rahmad/Sunan Ampel memerintahkan Raden jati untuk mencari
alas gerutan yang keluar sinarnya yang ada di daerah Lamongan, pesannya harus
sampai ketemu, kalau alas tersebut sudah ketemu disuruh mbabati sampai padang.
Setelah selesai mbabati alas Raden Jati disuruh kembali ke Ngampel oleh Raden
Rahmad.
Ringkasnya
cerita, Raden Jati setelah dinasihati oleh Raden Rahmad langsung pamit dan
berangkat mencari apa yang disuruh Raden Rahmad sambil membaca
Bismillahirrohmanirrohim dan sholawat. Menurut riwayat, Raden Jati dari ngampel
Surabaya berjalan ke selatan sampai tandes, dari tandes berjalan ke barat
sampai Benowo, dari Benowo menuju Benjeng, dari Benjeng langsung Balung
Panggang, dari Balung Panggang menuju wilayah Tikung Lamongan, di Tikung beliau
berhenti sampai beberapa malam melihat alas yang keluar sinarnya tapi tidak
kelihatan. Dari wilayah Tikung itu Raden Jati berjalan ke utara sampai Deket,
dari Deket beliau berjalan ke barat sampai alas suko yang sekarang dinamakan
Sukodadi. Dari alas Suko itu Raden Jati berhenti sampai malam, dari situlah
Raden Jati melihat sinar padang sekali. Setelah melihat sinar tersebut Raden
Jati langsung menuju ke arah sinar dan ternyata itu alas gerutan.
Sesudah sampai
di alas gerutan Raden Jati mendengar orang perempuan menembang di sebelah
pinggir timur. Langsung didekati dan dilihat. Setelah dilihat ternyata yang
menembang adalah orang perempuan sambil duduk di bawah pohon bambu sebab malam
jadi Raden Jati tidak mau mendekat karena takut kaget dan marah.
Setelah pagi
matahari terbit Raden Jati baru menemui pada orang tersebut, setelah ditempat
tersebut tanya Raden Jati pada perempuan itu “duh nyai sampean itu siapa orang
perempuan kok berani sendirian bertempat di alas yang gelap ini”, pertanyaan
itu dijawab oleh Dewi Margo Sari “hai
sanak namaku Dewi Margo Sari dan namamu siapa ? kok berani nanya saya”.
Langsung dijawab oleh Raden Jati “ Nama saya Raden Jati”. Dewi Margo Sari tanya
lagi pada Raden Jati “hai Raden sampean ini prajurit keraton Majapahit ?”. langsung
di jawab Raden Jati “tidak, saya ini Dewi, santrinya Raden Rahmad ing ngampel
dan saya ditugaskan oleh guru mencari
alas gerutan ini yang keluar sinarnya, akhirnya di dalam perjalanan saya
melihat sinar dan menuju alas ini dan tadi malam saya tidak berani menemui
sampean karena takut sampean kaget dan marah”.
Dewi Margo sari
setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Raden Jati merasa senang hatinya
(tresno). Raden Jati tanya lagi pada Dewi Margo Sari seperti ini “kenapa
sampean bertempat disini sendirian ?”. langsung dijawab oleh Dewi Margo Sari “iya
Raden, saya bersembunyi disini, saya prajurit Majapahit dan saya pergi tanpa
ijin, sebab saya disukai Patih Gajah tapi saya tidak suka, maka dari itu saya
bersembunyi disini”. Raden Jati bicara lagi “Dewi seumpama saya ikut tinggal
disini boleh apa tidak ? sebab saya di suruh sama guru untuk babat alas gerutan
ini”, di jawab oleh Dewi Margo sari dengan mudah “ wahai Raden, kalau kamu mau
bertempat disini, tapi Raden ada syaratnya yang harus dilaksanakan”, di jawab
oleh Raden Jati “ apa syaratnya dewi !, dan di jawab oleh oleh Dewi Margo Sari
“ saya buatkan sumur yang keluar airnya bersih, sebab sumur saya buat airnya
kurang bersih”, permintaan tersebut diterima oleh Raden Jati.
Setelah Raden
Jati menyanggupi permintaan Dewi Margo Sari langsung berjalan ke abarat dan
setelah di barat ada pohon besar sekali, di dekat besar itu tekennya di
tancapkan, ketika tekenya di tarik, keluarlah air bersih, bersih dan bening.
Dewi Margo sari
melihat airnya besar dan bening itu senang sekali hatinya karena permintaan
tercapai. Dewi bicara lagi “iya Raden saya percaya pada sampean kalau sampean
orang yang jujur dan orang yang tanggung jawab dan saya Raden mau hidup
bersamaan dengan sampean kalau sampean mau”, Raden Jati setelah mendengar
ucapan itu mengucapkan Alhamdulillah robbil ‘alamin dan mengucap lagi “mungkin
dari ini jalannya saya bisa membantu Raden Rahmad memperjuangkan Agama islam di
daerah Lamongan”.
Setelah Raden
Jati babati alas tersebut dengan dibantu oleh Dewi Margo Sari, walaupun Dewi
Margo Sari dilarang dekat-dekat dengan beliau, sebab masih belum jadi suami
istri. Kalau malam tidurnya Dewi Margo Sari tetap di sebelah timur dan Raden
Jati tidur disemailah barat dekat pohon besar. Dan kalau siang Dewi Margo sari
tidak boleh kemana-mana, yang mencarikan makanan Raden Jati seperti
buah-buahan.
Raden Jati
membuat gubuk dua buat berteduh kalau hujan, yang satu buat beliau dan yanng
satu buat Dewi Margo sari. Setelah dibuatkan gubuk, Dewi Margo Sari di islamkan
membaca dua kalimat syahadat sebab beliau masih beragama Hindu. Setelah di
syahadatkah kalau malam di ajari tentang keislaman termasuk doa wudlu dan
sholat. Dan di ajari tentang kewanitaan, termasuk doa jinabat, haid , nifas dan
wiladah. Setelah di ajari do’a-do’a perempuan, Dewi Margo sari tanya “ do’a
haid itu untuk apa Raden ?, dijawab oleh Raden Jati “kalau perempuan setelah
datang bulan kalau mandi baca do’a itu”. Dewi Margo sari tanya” do’a jinabat
untuk apa Raden ?”, di jawab Raden Jati “kalau sampean besuk punya suami,
setelah kumpul mandinya baca do’a itu”, Dewi Margo sari tanya “do’a wiladah
untuk apa Raden ?”, di jawab oleh Raden Jati “ untuk mandi setelah punya anak
sampai 40 hari”. Dewi Margo sari tanya “do’a nifas untuk apa Raden ?”. Di jawab
oleh Raden Jati “ untuk mandi pembersih setelah mandi wiladah”.
Menurut
riwayat, Raden Jati setelah selesai membabati alas gerutan dan membuat gubuk
mengajak Dewi Margo Sari sowan pada raden rahmad ing Ngampel Delta, tujuannya
Raden Jati yaitu :
1.
Mau bilang kalau yang ditugaskan mencari alas gerutan sudah ketemu.
2.
Alas gerutan sudah di babati sampai padang.
3.
Minta dinikahkan dengan Dewi Margo sari secara agama islam.
Tujuan Raden
Jati minta dinikahkan pada Raden Rahmad supaya Dewi Margo sari jadi istri
sholihah serta keturunannya jadi orang –orang yang baik dan ahli ibadah kepada
Allah Swt.
Maka dari itu
Raden Jati setibanya di Ngampel Delta bersama Dewi Margo Sari bilang pada Raden
Rahmad “ Guru saya mau bilang kalau alas yang ditugaskan pada saya, sudah
selesai dan bekasnya sekarang bersih saya babati bersama Dewi Margo sari yang
sekarang oranya saya ajak ini”.
Menurut
riwayat, Raden Rahmad setelah selesai mendengarkan apa yang diucapkan Raden
Jati senang sekali hatinya sambil bilang “kalau begitu Jati kamu termasuk
orang yang bisa saya percaya tentang
keberanian kamu”. Raden Jati Bilang lagi pada Raden Rahmad seperti ini “ Guru
saya minta restu pada guru, saya senang dan cinta pada Dewi Margo sari, kalau guru merestui saya langsung nikhakan secara
islam”. Apa yang diucapkan Raden Jati dengan Dewi Margo Sari secara islam di
saksikan oleh santri-santri Raden Rahmad yang ada di pesantren.
Setelah selesai dinikhakan Raden Rahmad
menyuruh Raden Jati dan istrinya kembali ke bekas alas yang di babati dan
disuruh menempati sebagai tempat tinggal berdua. Dan disuruh memperjuangkan agama
islam disitu, disuruh membuat padepokan atau langgar buat mengajar mengaji para
santri. Raden Jati dengan istrinya setelah mendengar apa yang diucapkan Raden
Rahmad langsung pamit kembali ke bekas alas tersebut.
Ringkasnya
cerita, Raden Jati bersama Dewi Margo Sari setelah datangnya dari Ngampel
mereka berdua membuat padepokan/langgar untuk mengajar mengaji para santri dan
membuat rumah pribadi untuk tempat tinggal keluarga yang dibuat dari bamboo dan
atapnya dari rumput alang-alang, rumah tersebut dekat dengan sumur yang dibuat
Raden Jati supaya enak kalau mengambil air untuk mandi dan wudlu. Maka dari itu
sumur yang sebelah timur yang dibuat oleh Dewi Margo Sari tidak dipakai buat
minum atau mandi tapi dibuat pakai buat menyiram tanaman. Sumur yang ada di
timur diberi nama sumur wadon atau sumur sari dan yang sebelah barat diberi
nama sumur lanang atau sumur jati.
Waktu Raden
Jati membuat padepokan untuk santri mengaji, kampong jauh-jauh ada yang dating
sebab alas tersebut yang asalnya peteng tidak ada orang yang berani akhirnya
bias padang dan orang-orang waktu iru seraungan berdatangan dari utara, barat,
selatan dan timur walaupun orang-orang waktu itu masih beragama hindu dan
budha. Akhirnya orang-orang tersebut , laki-laki dan perempuan yang sebagian
ada yang ikut agama islam. Mungkin dan kemungkinan ngumpulnya orang-orang jadi
satu itu disebutlah (Kampung Jati).
Dan gi
pemuda-pemudi banyak yang nyantri pada Raden Jati, ada satu santrinya Raden
Jati yang bernama (Raden Kusumo Luwong Jiwo / Raden Sukardi) anak dari Manggolo
Cipto anak Lembu Karso Joyo dan anak Lembu Wiro Joyo. Raden Sukardi orangnya
pintar sekali disbanding santri lainnya kalau diajar cepat menangkap dan
memahami dan santri-santri tersebut ada yang tidak mau pulang kampunya, minta
bertempat tinggal di Kampung Jati.
Raden Jati
setelah mendengar permintaan santri tersebut disuruh babati alas disebelah
baratnya yang tanahnya agak munduk dan disitu ada pohon besar yang tidak bias
dipotong waktu itu, santri yang tidak mau pulang disuruh bertempat tinggal
disutu sambil membuat sumur akhirnya sumur yang dibuat santri itu keluar airnya
seperti sumur yang dibuat Raden Jati dan tempat tersebut diberi nama (Kampung
Buduk) sebab santri itu namanya Pandugo Sari. Raden Jati dipanggil oleh para
santrinya (Kyai Slamet).
Raden Jati
menikah Dengan Dewi Margo Sari punya keaturunan satu putri bernama (Dewi
PAtijah), walaupun beliau seorang perempuan beliau rajin mengaji dan juga rajin
bekerja membantu orang tuanya. Menurut riwayat, Dewi Patihalah dinikahkan oleh
Raden Jati dengan Raden Kusumo Luwong Jiwo/Raden Sukardi. Raden Sukardi tiap
harinya membantu Raden JAti mengajar mengaji. Diabad 15-16 Kampung Jati
terkenal namanya tentang pesantren selain dari ngampel, karang pilang, giri dan
demak terkenal sampai padang dan mataram. Nyai PAtijah nikah dengan Raden
Sukardi punya keturunan satu putrid bernama (Dewi Patinah).
Abad ke-16
Raden Jati meninggal dunia dan yang mengganti mengajar mengaji adalah Raden
Sukardi dikampung Jati. Waktu Raden Sukardi megang pesantren Santri-santri
Raden Jati yang lain buat pesantren
sendiri-sendiri di kampungnya seperti di Dompreng, sugio dan Bambau, dll. Juga
diabad ke-16 itu Raden Nasrori putra Kyai Abdur Rahman asal dari Mataram dating
ke Kampung Jati, setibanya dikampung Jati Raden Nasrori dimintai tolong oleh
Raden Sukardi untuk membantu mengajar mengaji dan Raden Nasrori mau membantu.
Akhirnya para santri-santri senang ddan betah di pesantren, lama kelamaan Raden
Nasrori akhirnya dinikahkan dengan Dewi Patinah oleh Raden Sukdi sebab Dewi
Patinah senang dengan Raden Nasrori. Setelah dinikahkan Raden Nasrori dipasrahi
pesantren sebab dipandang mampu ilmu pengetahuannya.
Ringkasnya
cerita, diabad ke-16 Raden NAsrori bin Kayai Abdur Rahman megang pesantren di
Kampung Jati pesantren tersebut dikenal lagi sampai kemana-mana dan nama Raden
Nasrori tambah dikenal orang-orang besar di mataram dan juga dikenal
orang-orang besar di Ponorogo dan juga dikenal masyarakat kecil di Lamongan.
Putra-putrinya banyak disuruh ngaji pada Raden Nasrori tersebut. Santri-santri
dari Jati tersebut setelah pulang banyak yang jadi pejuang islam. Raden Nasrori
disebut (Kyai Kembang) oleh santrinya
dan Dewi Patinah dijuluki (Nyai Martiah) dari pernikahan itu punya keturunan
dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki namanya (Ahmad Salim)
dan yang perempuan namanya (Dewi Rogayah).
Diabad ke-16
ada pemuda-pemudi dating di Kampung Jati berasal dari Ponorogo, mereka berdua
mau belajar mengaji pada Kyai Kembang. Pemuda itu bernama (Mukayat) putranya
Raden Batarakatang Ponorogo dan pemudi itu bernama (Surati Dewi) putrinya Raden
Kasdiro jejuluk (Manggolo) dan Raden Mukayat tersebut sepupunya Surati Dewi.
Santri dua itu sama-sama pandai, setelah lama di Jati mereka berdua tidak boleh
pulang ke Ponorogo oleh Raden Nasrori di suruh menetap di Jati. Akhirnya pemuda
pemudi itu diambil menantu oleh Raden Nasrori untuk penerus pejuang islam di
Jati.
Ahmad Salim
dinikahkan dengan Surati Dewi dan Dewi Rogayah dinikahkan dengan Raden Mukayat.
Ahmad Sali punya istri pindah tempat asalnya kumpul jadi satu di timur akhirnya
pindah ke barat. Disitu membuat pesantren dan membuat masjid sebab dulu di
Jatinawong belum ada masjid dan juga membuat sumur, sumur itu dinamakan sumur
tua. Mungkin dan kemungkinan dari itulah yang disebut kampong Mah Jero.
Tempat di
timur diserahkan pada Raden Mukayat dengan dewi Rogayah sama-sama mengajar
mengaji santri-santrinya sama-sama banyak, walaupun begitu tidak ada
perselisihan atau iri hati. Raden Mukayat waktu itu membuat sumur sumur
disebelah utaranya untuk para santri dan orang-orang yang ada disitu. Mungkin
dan kemungkinan kampong timur itu diberi nama Kampung Mah Jobo. Diabad ke-16
itu juga Raden Nasrori meninggal dunia di makamkan di makam tua dan di jejerkan
dengan makam Makam Raden Jati (Desa Jati).
Ringkasnya
cerita, Raden Nasrori setelah meninggal kampong Jati di pecah jadi dua sebelah
barat yang ditempati Kay Ahmad Salim diberi nama Kampung Mbah Jero. Kyai Ahmad
Salim punya keturunan putra dan putrid banyak termasuk yang jadi demang atau
Kepala Kampung di Jati.
Nyai Rogayah
menikah dengan Raden Mukayat bertempat tinggal disebelah timur, keturunannya
bertempat tinggal disebelah utara dan kampong tersebut diberi nama kampong Mah
Jobo. Dari pernikahan itu punya keturunan banyak. Putra putrinya Kyai Ahmad
saling menikah dengan putrinya Raden Mukayat sampai keturunan supaya tidak
hilang hubungan keluarga. Contohnya saudara sepupu saling menikah dengan sampai
keturuna ke lima. Walaupun katurunan dari kampong Jati menikah dengan kampong
lain keturunannya tetap ada yang menikah dengan keturunan Kampong Jati. Menurut
riwayat, yang jadi pejuang islam/pemimpin di desa Jatinawong tetap keturunan
Raden Jati, Raden Nasrori juga keturunan
Kyai ahmad Salim dan Raden Mukayat. Meskipun menikah dengan desa lain
keturunannya tetap jadi pejuang islam dan penguasa kampong. Raden Mukayat
menikah dengan Dewi Rogayah punya putri
yang bernama (Dewi Telasih Dewi).